Deli Serdang|delidaily.net — Ketika dunia kesehatan sudah bergerak maju dengan terapi modern dan layanan HIV semakin mudah dijangkau, mengapa infeksi baru masih terjadi?
Pertanyaan inilah yang kini mengemuka pada peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 1 Desember 2025. Banyak pihak menilai bahwa persoalan HIV bukan lagi semata-mata tentang obat dan fasilitas, tetapi tentang hubungan antar-manusia, cara kita memandang sesama, dan bagaimana pemerintah berkolaborasi dengan masyarakat sipil untuk menciptakan perubahan nyata.
Dengan tema nasional “Bersama Hadapi Perubahan: Jaga Keberlanjutan Layanan HIV,” isu kolaborasi kembali menjadi sorotan utama. Pemerintah didorong untuk membangun pendekatan yang lebih humanis dan profesional, serta membuka ruang kemitraan yang lebih kuat dengan organisasi masyarakat sipil yang selama ini menjadi ujung tombak di lapangan.
Di tengah momentum ini, Antono, aktivis HIV dari Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Deli Serdang Plus, menegaskan bahwa peran pemerintah sangat penting, tetapi tidak mungkin berjalan efektif tanpa dukungan komunitas.
“Ini bukan hanya tugas dinas kesehatan, bukan hanya tugas rumah sakit, dan bukan hanya tugas pemerintah pusat. Pengendalian HIV tidak akan efektif jika dilakukan sendiri-sendiri. Komunitas adalah mitra strategis, bukan pelengkap,” kata Antono.
Pendekatan Pemerintahan Humanis dan Profesional
Menurut Antono, keberhasilan menekan infeksi baru HIV dan menjaga keberlanjutan layanan sangat dipengaruhi oleh cara pemerintah membangun hubungan dengan masyarakat.
“Pendekatan humanis itu sederhana: mendengarkan. Ketika pemerintah mendengar suara komunitas, suara pendamping sebaya, suara ODHIV, maka kebijakan akan lebih tepat sasaran,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya tata kelola layanan yang profesional—mulai dari transparansi program, kualitas layanan, hingga konsistensi intervensi—agar masyarakat semakin percaya dan mau mengakses layanan.
Kolaborasi untuk Menghapus Stigma
Antono juga menyoroti bahwa stigma di masyarakat masih menjadi hambatan terbesar.
“Stigma adalah musuh bersama. Komunitas berjuang setiap hari memberi edukasi, tetapi dampaknya jauh lebih kuat bila pemerintah memperkuat pesan melalui sekolah, ruang publik, media, dan lembaga keagamaan,” ujarnya.
Kolaborasi dianggap sebagai satu-satunya strategi yang mampu menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk menghapus stigma dan diskriminasi yang hingga kini masih menghantui ODHIV.
Menuju Indonesia Tanpa AIDS 2030
Menurut Antono, pemerintah daerah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dan menjadikan komunitas sebagai mitra penuh, bukan sekadar pelaksana program.
“Kalau kita ingin mengakhiri epidemi ini, kuncinya kolaborasi. Pemerintah punya regulasi dan sumber daya, komunitas punya kedekatan dengan masyarakat. Bila keduanya bersatu, target Indonesia tanpa AIDS 2030 bukan mimpi,” tegasnya.
HAS 2025 diharapkan menjadi titik balik untuk memperkuat kemitraan lintas sektor dan mempercepat akselerasi respon HIV di Indonesia.
