Suatu lokasi di pemukiman padat penduduk di Medan, tahun 2022 kemarin. Seorang anak SMP (sebut saja Gareng) meninggal dunia akibat suatu penyakit biasa yang menjadi sangat serius akibat paparan virus HIV. Ia termasuk ke dalam daftar 14.150 kasus anak dengan HIV-AIDS versi Kemenkes-RI.
Peristiwa yang membangkitkan stigma
Gareng adalah sosok yang dikenal ramah, sopan santun serta suka menolong orang lain. Dari perangainya, warga menilai ada kecenderungan remaja tersebut menyukai sesama jenis.
Semasa ia hidup, warga tetap menerima kehadirannya dengan baik dan normal, bahkan dikatakan sering menginap di rumah salah seorang dari mereka. Hampir semua mengetahui bahwa Gareng mengidap virus HIV yang entah darimana ia dapatkan.
Di hadapan warga, ia mengaku mendapatkan virus tersebut ketika ‘dinodai’ saat usianya masih kecil. Gareng tak ingat, orang-orang yang meng-Grooming-nya pada waktu itu menggunakan kondom atau tidak.
Keterbatasan orangtuanya dalam mengawasi menjadi salah satu faktor kelemahan masuknya virus yang membuat Gareng harus bolak-balik masuk Rumah Sakit meskipun penyakitnya sangat ringan bagi orang normal.
Kematian Gareng meninggalkan kasak-kusuk ditengah warga yang tadinya terbiasa dengan ODHA. Mereka yakin masalah HIV sekarang tak seserius jaman dulu karena adanya obat ARV. Namun, kejadian tersebut membuat kampung itu seperti barusan dilewati malaikat pencabut nyawa.
Warga seakan-akan mulai panik dan segera mengecek anak-anak mereka satu-persatu yang pernah kontak dengan Gareng. Pandangan mereka pun mulai tajam pada ‘jiwa-jiwa yang tak biasa’ di sekitar lingkungan. Sungguh suatu peristiwa yang mengubah Stigma dalam sekejap. Tak menunggu lama setelah kejadian itu, siapapun yang datang mengurus administrasi apapun dengan gaya ‘melambai’, dipastikan akan dipersulit.
Bukan terhina tapi tetap saja kena
Kejadian seperti diatas merupakan salah-satu contoh bahwa pada saat ini, meskipun sudah banyak edukasi tentang HIV-AIDS, pada prakteknya seringkali tak sejalan. Kelompok transgender akan diposisikan terdepan untuk disalahkan.
Tak tahu lagi nasib 7.153 ibu rumah tangga yang positif dimana 45% bayi yang akan mereka lahirkan pasti mewarisi virus HIV. Mereka tidak melambai. Justru sebagian besar diantara mereka dapat hadiah dari pasangannya yang melakukan hubungan seks beresiko diluaran.
Tapi merekapun tak selamat dari stigma masyarakat. Belum lagi 76% diantaranya tidak dapat mengakses obat ARV lantaran larangan suami¹ yang justru banyak alasan ketika disuruh menggunakan kondom ketika berhubungan.
HIV dan perilaku LSL
Jika kita berbicara mengenai stigma HIV-AIDS, maka kita tak bisa lepas dari sejarah yang mencatat timeline penularan virus HIV-AIDS dimana perilaku LSL (Lelaki Seks Lelaki) masih menjadi peringkat pertama faktor penularan.
5 Juni 1981. Saat itu ada keresahan karena ditemukan infeksi paru-paru yang langka, dan itu terjadi pada 5 orang homoseksual di Los Angeles, penyakitnya yaitu PCP (Pneumocystic Carinii Pneumonia).
Di hari yang sama, ada laporan lagi terkait kanker ganas, Kaposi’s Sarcoma (KS) yang menyerang orang-orang homoseksual (baca:gay) di New York dan California. Dan keduanya sama-sama dikaitkan dengan orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah.
Video dokumentasi NBC pada kasus AIDS pertama yang ditemukan pada tahun 1981.
Disusul kemudian di tanggal 28 Agustus 1981 ada sekitar 108 kasus serupa yang dilaporkan, dan 107 penderitanya adalah laki-laki yang di dominasi oleh kelompok gay dan biseksual.
Infeksi pun semakin meluas, karena penemuannya itu sering sekali menjangkit orang-orang homoseks disinilah kemudian pada pada 11 Mei 1982 diperkenalkan istilah Gay-Related Immune Deficiency (GRID). Akhirnya pada bulan September 1982, CDC merubah nama penyakit ini dengan nama AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom). Dengan perkembangan jika penyakit ini juga ada pada kelompok selain LGBT².
Sekedar diketahui, jauh sebelum saat itu kondom sudah diperkenalkan sebagai alat kontrasepsi dan digunakan secara luas. Namun kalah populer dengan penisilin dan pil kontrasepsi.
Tapi dengan adanya peristiwa tersebut, permintaan akan kondom tiba-tiba mengalami lonjakan yang luarbiasa. Orang ketakutan, sebab untuk mencegah masuknya virus HIV satu-satunya jalan hanya dengan menghalangi bertemunya cairan yang bisa masuk ke dalam darah ketika berhubungan.
Stigma kondom
Mengakulturasi kondom ditengah-tengah masyarakat Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang banyak terjadi justru penolakan.
Wanita lebih suka kondom
Pada tahun 2022 yang lalu, Durex produsen kondom ternama bersama Toluna sebuah platform survey berbasis digital melakukan penelitian yang bertajuk Pleasure Gap Study 2022³. Sebuah survey terhadap 535 responden yang terdiri dari 242 laki-laki dan 293 perempuan berusia antara 18 hingga 34 tahun yang masih aktif secara seksual.
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa ternyata 75 persen perempuan merasa lebih nyaman ketika pasangannya menggunakan kondom dengan alasan bebas dari kekhawatiran penularan disamping sensasi tambahan.
Kendati demikian, hanya 31 persen pria yang mau memakainya. Alasannya, karena ketidakpuasan saat bercinta.
Kondom dari perspektif budaya
Agama atau keyakinan selalu melekat dengan budaya. Membiasakan kondom sebagai budaya yang baru sama dengan menghadapkan kondom dengan agama.
Hingga sekarang, kondom masih menjadi objek perdebatan panjang jika dibawa ke ranah keyakinan. Karena memang sifatnya bak pedang bermata dua. Sebagian penganut madzhab tertentu malah memfatwakan bahwa kondom itu haram, sebahagian yang lain menghukumnya mubah. Tergantung niatnya. Sementara niat itu tak terlihat, dan yang tak terlihat itu mudah dihukumi.

Meski disinyalir mampu mencegah penularan HIV hingga 90 persen⁴, konotasi negatif terhadap kondom kerap membayangi program sosialisasi sarung karet tersebut. Apalagi sekarang banyak varian rasa-rasa.
Tak ada yang menolak bahwa kondom diciptakan untuk mencegah penularan penyakit seksual. Namun tak ada yang menjamin bahwa kondom tidak disalahgunakan.
Ketika seseorang memutuskan untuk menggunakan kondom, seringkali diidentifikasi sebagai pelaku seks bebas, perzinaan bahkan orang yang memiliki penyakit menular itu sendiri.
Kesimpulan
Bahwa HIV-AIDS masih menjadi penyakit menular paling mengerikan dimata masyarakat dan belum ada obatnya masih menjadi alasan favorit untuk memelihara stigma sehingga banyak orang yang memilih menjauhi ODHA dengan alasan takut tertular.
Pada waktu yang sama, mereka ramai-ramai menutup mata dan telinga tentang sosialisasi kondom dan menyalahkan mereka yang terpapar virus HIV karena tak menggunakannya.
Ini membuat ODHA dikucilkan dan tidak mendapat penghiburan. Akhirnya seringkali ODHA menjadi tambah stress dan depresi. Depresi dapat memicu dendam yang tak menutup kemungkinan timbul niat untuk sengaja menyebarkannya.
Jika kamu bertemu dengan mereka, berikut beberapa tips agar mereka tidak kehilangan asa:
- Temani dia, beri pelukan hangat.
- Jangan memarahi atau melakukan intimidasi mengapa sampai bisa tertular.
- Jangan ungkapkan kata yang menyakitkan hatinya.
- Sebisa mungkin hindari obrolan mengenai asal muasal sampai bisa terpapar HIV.
- Jangan takut kontak fisik seperti pelukan, berpegangan tangan, atau makan bersama. Karena HIV tidak ditularkan melalui itu semua.
- Besarkan hatinya bahwa ini bukan akhir dunia. Ajak dia bersama menjadi pribadi yang lebih baik.(Habib)
Referensi:
- Kasus HIV dan Sifilis Meningkat, Penularan Didominasi Ibu Rumah Tangga
- A Timeline of HIV and AIDS
- Kumparan.com
- Spiritia.or.id
Sumber gambar: Pexels