Jakarta – Delidaily.net
Perang menggunakan sarung atau pertarungan sarung akhir-akhir ini marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dahulu semasa kita kecil perang sarung hanyalah candaan anak anak laki-laki selepas shalat tarawih dengan memukulkan sarung yang dilipat lipat (digulung) lalu dipukulkan ke lawan bermain.
Namun perang sarung saat ini terjadi bukan sekedar permainan perang sarung biasa, tapi menjadi ajang tawuran yang menyeramkan, para pemuda memodifikasi sarung milik mereka masing-masing menjadi senjata yang keras untuk memukul lawan, bahkan ada di antara mereka yang mengisi sarungnya dengan batu dan benda keras yang lainnya.
Aksi perang sarung yang terekam video hingga viral di media sosial, peristiwa itu diduga terjadi di kawasan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, puluhan remaja saat dini hari terlibat perang sarung, saling kejar dan pukul.
Di Tangerang, dilaporkan seorang lelaki terluka akibat sabetan senjata tajam di Jalan Raya Cisauk, Desa Nengnong, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang pada Selasa (28/3) dini hari, menurut polisi pria berinisial NH itu merupakan salah satu peserta keributan perang sarung, belakangan, pelaku pembacokan terhadap NH disebut telah ditangkap polisi, di mana ada tiga orang yang diamankan polisi terkait insiden perang sarung tersebut.
Peristiwa perang sarung di Palmerah, Jakarta Barat pada Kamis (23/3/2023) lalu hingga merenggut nyawa, seorang pria berinisial MJ (29) tewas di tempat usai terkena sabetan senjata tajam di bagian bawah ketiaknya, hingga kini masih banyak berita bermunculan dari berbagai tempat seputar aksi perang sarung ini.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, mengatakan ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan para remaja memilih tawuran di bulan Ramadan. Krisis identitas, disebut Nahar sebagai salah satu faktor internal penyebab terjadinya tawuran. “Jika para remaja tidak mendapatkan panutan yang baik atau keyakinan sendiri atas identitasnya, maka mereka cenderung mencari identitas yang sedang trend di lingkungan sekitarnya, dan apabila ia kebetulan di lingkungan yang buruk atau antar remaja dengan kekerasan, maka kemungkinan besar para remaja ini akan melakukan hal yang serupa,” jelas Nahar.
Selain itu, kontrol diri yang lemah dan ketidakmampuan menyesuaikan diri menjadi faktor internal lainnya. Hal inilah yang seringkali dirasakan remaja, sehingga tawuran dianggap sebagai sebuah solusi dari permasalahannya.
Untuk faktor eksternal, Nahar menilai lingkungan menjadi kunci penting penyebab anak-anak atau remaja melakukan tawuran. “Orang tua yang tidak perhatian dengan perkembangan lingkungan anak akan membuat para remaja cenderung berteman dengan orang yang salah, ujarnya.
Selain itu, adanya pengaruh teman sebaya akan mengikat bahwa tingkah laku kelompok harus diikuti oleh setiap anggota kelompok. Sehingga jika ada satu yang berkelahi dengan orang lain, maka teman yang lain harus ikut membela.
Saat ini aparat penegak hukum di berbagai daerah kerap melakukan patroli hingga sejumlah aksi tawuran sarung dapat digagalkan. Namun tentu saja tidak cukup sampai disitu. Tetap diperlukan mekanisme serius dan kerjasama antara orangtua, guru, masyarakat, dan pemerintah untuk menuntaskan kriminalitas remaja ini agar tidak terus berulang.
Keimanan atau akidah Islam menjadi pondasi utama bagi kurikulum pendidikan karena ketaatan dan ketundukan manusia sebagai makhluk (ciptaan) dari Sang Khalik (Pencipta). Jika sejak awal para pelajar dan pemuda mampu memahami konsep dasar akidah Islam, maka mereka akan menyadari bahwa kehidupan di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Kesadaran terhadap menjaga nyawa manusia akan tumbuh karena hal tersebut menjadi bagian yang sejak awal ditanamkan dalam dunia pendidikan.
Berharganya nyawa seorang manusia dan keharaman menghilangkan nyawa manusia disebutkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 32.
Dengan akidah islam pula terbentuk pola pikir islam dan pola sikap islam hingga mewujudkan kepribadian islam. Remaja dibekali dan dikuatkan identitasnya sebagai muslim. Tidak kebingungan mencari identitas, mencoba ini-itu tanpa rambu rambu.
Semestinya sekolah dan sistem pendidikan mampu merancang mekanisme yang dapat mendidik anak dan remaja menjadi sosok tangguh berkepribadian islam. Sayangnya dalam sistem kapitalisme sekuler tentu saja hal ini sulit. Sebab islam hanya dipandang sebagai agama ritual, bukan sebagai ideologi.
Dari sisi orangtua, merekalah pihak pertama yang bertanggungjawab atas anaknya hingga ia baligh. Orangtua wajib mendidik anak. Orangtua harus menyiapkan diri dan berproses memperbaiki hubungan dengan anak, menjadi orangtua betulan. Bukan menjadi orangtua kebetulan. Sayangnya dalam sistem hari ini pergaulan bebas membuat banyak anak lahir dari orangtua yang belum siap punya anak. Kapitalisme hari ini juga membuat krisis ekonomi hingga para orangtua terkuras waktu dan tenaganya untuk mencari nafkah hingga kurang memperhatikan anak.
Sehingga lemahnya generasi, meningkatkan kenakalan dan kriminalitas remaja termasuk tawuran sarung ini adalah imbas dari sistem kapitalisme sekulerisme. Untuk menuntaskannya perlu penanganan yang sistemik pula dengan menjadikan akidah islam sebagai pondasi dan berkeadilan dengan sistem kehidupan lainnya berasaskan islam.
Pewarta : Mr. JM